Social Icons

twitterfacebook

Bahasa Hukum: Tindak Pidana ‘Pemerasan’

"Istilah pemerasan adalah bahasa hukum yang rumusan pidananya ada dalam hukum positif."

    Salah satu kata yang paling diucapkan dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi Bupati Buol, Amran Batalipu, adalah pemerasan. Pengusaha Siti Hartati Murdaya, yang sudah dinyatakan tersangka oleh KPK, mengaku diperas, bukan menyuap. KPK mencurigai Hartati menyuap Bupati, tetapi pengacara menyebut Hartati korban pemerasan.
Lepas dari kasus itu, pemerasan (Belanda: afpersing; Inggris: blackmail), adalah satu jenis tindak pidana umum yang dikenal dalam hukum pidana Indonesia. Spesifik tindak pidana ini diatur dalam pasal 368 KUHP. Dalam struktur KUHP, tindak pidana pemerasan diatur dalam satu bab (Bab XXIII) bersama tindak pidana pengancaman. Karena itu kata afpersing sering digabung dengan kata afdreiging yang diatur pasal 369 KUHP. 
    Kata ‘pemerasan’ dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar ‘peras’ yang bisa bermakna leksikal ‘meminta uang dan jenis lain dengan ancaman (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 855). Afpersing berasal dari kata kerja afpersen yang berarti memeras (Marjanne Termorshuizen, 1999: 16).
Dalam Black’s Law Dictionary (2004: 180), lema blackmail diartikan sebagai ‘a threatening demand made without justification’. Sinonim dengan extortion, yaitu suatu perbuatan untuk memperoleh sesuatu dengan cara melawan hukum seperti tekanan atau paksaan.
   
Dalam konteks hukum pidana, suatu perbuatan disebut pemerasan jika memenuhi sejumlah unsur. Unsur-unsurnya bisa ditelaah dari pasal 368 ayat (1) KUHP: “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
    Subjek pasal ini adalah ‘barangsiapa’. Menurut Andi Hamzah (2009: 82), ada empat inti delik atau delicts bestanddelen dalam pasal 368 KUHP. Pertama, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Kedua, secara melawan hukum. Ketiga, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman. Keempat, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang.
Unsur ‘dengan maksud’ dalam pasal ini memperlihatkan kehendak pelaku untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain. Jadi, pelaku sadar atas perbuatannya memaksa. Memaksa yang dilarang di sini adalah memaksa dengan kekerasan. Tanpa ada paksaan, orang yang dipaksa tidak akan melakukan perbuatan tersebut (SR. Sianturi, 1996: 617).
    Dengan cara memaksa, pelaku ingin korban menyerahkan barang atau membayar utang atau menghapus piutang. Jika yang terjadi penyerahan barang, maka berpindahnya barang dari tangan korban menjadi peristiwa penting melengkapi unsur pasal ini. Putusan Hoge Raad 17 Januari 1921 menyebutkan penyerahan baru terjadi apabila korban telah kehilangan penguasaan atas barang tersebut (R. Soenarto Soerodibroto, 2009: 229).
    Putusan Hoge Raad pada 23 Maret 1936 menyimpulkan bahwa disebut pemerasan jika seseorang memaksa menyerahkan barang yang dengan penyerahan itu dapat memperoleh piutangnya, juga jika memaksa oang untuk menjual barangnya walaupu dia harus bayar harganya penuh atau bahkan melebihi harganya.
Jumlah barang yang dipaksa untuk diserahkan tidak masalah. PN Kisaran lewat putusan No. 309/Pid.B/2008 tanggal 11 Juni 2008 telah menghukum seorang terdakwa RSP dua bulan penjara karena terbukti memaksa orang lain menyerahkan uang seribu rupiah.
Pemerasan vs pencurian dengan kekerasan

   Pemerasan hamir mirip dengan pencurian dengan kekerasan (pasal 365 KUHP). Hubungan kedua pasal juga erat karena ayat (2) pasal 368 menyebutkan terhadap pasal ini berlaku juga rumusan ayat 2 sampai 4
pasal 365 KUHP. Pada kedua jenis tindak pidana ini, sama-sama ada unsur pemaksaan dan pengambilan barang milik orang lain.
Menurut Andi Hamzah (2009: 84), perbedaannya terletak pada ada tidaknya interaksi pelaku dengan korban. Pada tindak pidana pemerasan, ada semacam ‘kerjasama’ antara pelaku dengan korban karena korban sendiri yang menyerahkan barang walau dengan paksaan. Sebaliknya, pada pencurian dengan kekerasan, pelaku mengambil sendiri barang tersebut tanpa diketahui pemiliknya.
Inilah sekelumit gambaran tentang tindak pidana ‘pemerasan’ yang dikenal dalam hukum pidana Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar